Ruhani (Nyawa)
Ruhani (nyawa) adalah ia asal daripada nur (cahaya). Setelah jasmani
dijadikan dengan sempurna didalam kandungan. Allah swt. menjelaskan didalam
surat Shaad ayat 71-72, demikian firman-Nya :
إِذۡ
قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي خَٰلِقُۢ بَشَرٗا مِّن طِينٖ ٧١ فَإِذَا
سَوَّيۡتُهُۥ وَنَفَخۡتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُۥ سَٰجِدِينَ ٧٢
Artinya :
Ingatlah tatkala Tuhan-mu berkata kepada malaikat : Bahwasanya Aku
jadikan manusia (jasmaninya) yang asal dari tanah. Maka tatkala Aku sempurnakan
kejadiannya, Aku hembuskan kedalam tubuh itu sebagian daripada ruh (nyawa)
bikinan-Ku, maka lahirlah lalu sujud (tertelungkup) seraya menghormat
pada-Ku".
(QS. Shaad [38]: 71-72)
Dengan ayat ini jelaslah, bahwa ruhani (nyawa) setelah dihembuskan ke
dalam jasmani hiduplah jasmani itu. Jadi teranglah bahwa ruhani adalah alat
untuk menghidupkan jasmani. Oleh sebab itu ruhani (nyawa), dia berasal dari
pada nur (cahaya), sudah tentu tiap-tiap cahaya akan memenuhi ruangannya
sendiri.
Jadi, kalau kita umpamakan bahwa jasmani adalah merupakan suatu negara
kecil (negara badaniah). Adapun ruhani (nyawa) itu adalah merupakan satu alat
roda pemerintahan badaniah yang menghidupkan
negara badaniah. Setelah jiwa (nafs) yang mana di dalam negara badaniah
(jasmani) adalah merupakan sebagai kepala (pucuk pimpinan) yang mengatur dan
menentukan atas sesuatu baik dan buruk negara badaniah (jasmani) tersebut.
Jadi, apabila kepala (pucuk pimpinan) jiwanya tidak mempunyai kekuatan
yakni lemah, sudah pasti segala alat-alat negara badaniah dari yang tinggi
sampai yang rendah sekali, tidak akan mentaati segala peraturan-peraturan atau
perintahnya. Sebaliknya apabila kepala negaranya mempunyai kewibawaan maka
segala alat negara badaniah (jasmani) akan menuruti segala perintahnya dengan
cepat dan tangkas dengan demikian selamatlah dan berbahagialah segenap
masyararakat badaniah. Barulah dinamakan manusia yang sempurna dan baik (insanul
kamil). Manusia ini yang akan mendapat satu derajat (kedudukan) disisi
Allah swt. serta mendapat ampunan serta rejeki yang halal sebagaimana telah
dijelaskan di surat Al Anfal ayat 4 :
أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ حَقّٗاۚ لَّهُمۡ دَرَجَٰتٌ
عِندَ رَبِّهِمۡ وَمَغۡفِرَةٞ وَرِزۡقٞ كَرِيمٞ ٤
Artinya :
"Mereka itulah orang-orang mukmin yang hak (benar) bagi mereka satu
derajat disisi Allah, Tuhan yang memelihara mereka dan mendapat ampunan serta
rejeki yang mulia.”
(QS. Al Anfal [8]: 4)
Tegasnya dengan ayat tersebut nyatalah bahwa Allah swt. akan memberikan
satu derajat (kemuliaan) kepada manusia yang benar (hak) sebagai seorang makhluk
atau hamba yang mengenal serta selalu memperhatikan atas diri pribadinya
sebagai seorang insan.
Sesuai dengan firman Allah swt. di surat Adz Dzaariat ayat 20-21 :
وَفِي ٱلۡأَرۡضِ ءَايَٰتٞ لِّلۡمُوقِنِينَ ٢٠ وَفِيٓ أَنفُسِكُمۡۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ ٢١
Artinya :
Diatas bumi ini ada tanda-tanda Kekuasan Allah bagi orang yang berjiwa
yakin. Dan apakah kamu tidak perhatikan dalam diri pribadimu sendiri?."
(QS. Azd Dzariat [51]: 20-21)
Dengan ayat tersebut adalah satu teguran agar manusia selalu memperhatikan
atas diri pribadinya sebab dengan memperhatikan diri pribadinya sendiri
tumbuhlah satu keyakinan bahwa benar-benar ada kekuasaan Allah swt. di atas
alam cakrawala ini. Sebagaimana Imam Al-Ghazali berkata:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْعَرَفَ رَبَّهُ
Artinya :
"Barang siapa mengetahui diri pribadinya maka sesungguhnya ia
mengetahui Tuhan yang menjadikannya".
(Kitab Kimmiyatus Sa’adah)
Kesimpulan yang dinamakan manusia itu ialah :
a. Jasmani (tubuh kasar) yang
dijadikan asal dari unsur-unsur (zat-zat) yang terdapat dari tanah (bumi).
b. Ruhani (nyawa) yang dibuat
dari nur (cahaya) Allah swt.
c. Jiwa (nafs) yang berasal dari
tiga unsur atau tiga kekuatan.
Tiga unsur kekuatan jiwa atau dinamakan an nafs (jiwa) itu ialah :
1. Syahwat
2. Ghadab
3. Natiqah
Adapun sifat-sifat dari tiga kekuatan yang tersebut diatas, sebagai
berikut:
1. Syahwat
Sifatnya pemalas, merampas, angkara murka,
tidak tahu malu, pengecut (penakut), mementingkan diri sendiri, kikir, tidak
ambil pusing (pasif), rakus, tamak dan sebagainya. Jadi apabila kekuatan ini
menang (berkuasa) di atas jasmani manusia pasti manusia tersebut akan malas
(pasif) akibatnya menjadilah beban masyarakat.
2. Ghadab
Sifatnya takabbur (sombong), ria (senang
dipuji), tidak mau mengalah, cari enaknya sendiri, buas (kejam), penindas
(pemeras), tidak kenal kasihan, tidak pakai perhitungan, senang menjerumuskan
orang lain untuk kepentingan dirinya dan sebagainya. Jadi apabila kekuatan ini
memang (berkuasa) di atas jasmani manusia pasti manusia itu akan takabbur
(sombong)dan buas (kejam) yang akibatnya kacaulah masyarakat.
3. Natiqah
Sifatnya tenang (tentram), suka menerima
nasihat, suka menerima ilmu, suka kebijaksanaan, adil, pemurah dan penyayang
(rahman dan rahim). Jadi apabila sifat ini menang (berkuasa) diatas jasmani
manusia bahagialah masyarakat.
Maka dengan adanya natiqah inilah terletak perbedaan manusia dengan
hewan sebagaimana kata ahli falsafah :
اَلاِ نْسَانُ حَيَوَانٌ نَاطِقٌ
Artinya :
"Manusia itu ialah hewan yang bernatiqah (cerdas) atau
penimbang".
(Kitab Mantiq)
Sebaliknya, apabila manusia tidak pandai menjaga dan memelihara
natiqahnya dari serangan musuhnya yaitu iblis maka manusia terjerumus di jurang
kehinaan bahkan lebih rendah lagi derajatnya dari pada hewan. Sebab itu pepatah
pujangga Islam pernah berkata:
اَقْبِلْ عَلَى النَّفْسِ وَاسْتَكْمِلْ فَضَائِلَهَافَأَنْتَ بِا
الرُّوْحِ لاَ
بِالْجِسْمِ إِنْسَانُ
Artinya :
“Hadapkanlah jiwamu dan sempurnakanlah dia dengan keindahan-keindahannya
karena engkau disebut seorang insan (manusia). Bukan lantaran jasmanimu tetapi
adalah dikarenakan jiwamu”.
(Buku Tasawuf Modern)
Tegasnya jiwa manusia yang telah dapat mencapai derajat kekuasaan
natiqahnya pasti akan tumbuh satu daya kekuatan yang luar biasa di atas jasmani
manusia bahkan ia dapat mengatur
soal-soal yang lainnya di luar dirinya sendiri. Misalnya seorang yang sedang
sakit maka orang yang telah memiliki kekuatan natiqahnya maka dengan do’a-nya
saja si sakit itu dapat disembuhkannya.
Begitupun orang yang natiqahnya telah berkuasa di atas jasmaninya
apabila dia berkehendak mencapai suatu ilmu orang-orang pandai maka dengan
getaran-getaran jiwanya ia bermunajat (berdo’a) kepada Tuhan-nya, maka dengan
mohonnya itu datanglah dengan tiba-tiba ilmu yang dikehendakinya. Maka dengan
akibat kekuatan jiwa yang luar biasa ini, maka perbuatan-perbuatan yang
tersebut sering dikatakan orang suatu keajaiban (ghaib) atau sering dibilang
orang tersebut berkeramat.
Maka jiwa yang seperti tersebut
berbeda dengan jiwa-jiwa yang ada pada orang biasa (awam) di dalam tiga
hal:
1. Apa-apa yang dilihat oleh
orang-orang awam (umum) di dalam mimpi, maka orang yang berjiwa kuat dapat
melihat di dalam keadaan sadar dan terjaga.
2. Sementara orang awam (umum)
hanya ingin mempengaruhi jasmaninya sendiri dengan susah payah, tetapi bagi
orang yang berjiwa kuat bukan saja dapat menguasai jasmaninya bahkan di luar
jasmaninya pun dapat dia kuasai dengan spontan.
3. Jika ilmu yang didapat oleh
orang-orang awam (umum) dengan jalan belajar memakan waktu bertahun-tahun
dengan kekuatan dan keuletan tetapi bagi orang yang berjiwa kuat datangnya ilmu
dengan melalui ilham dari Allah swt. Jiwa manusia yang sedemikian ini adalah
bagi manusia yang berbakti kepada Tuhan-nya dengan ikhlas yakni suci murni
dengan yakin sesuai dengan firman Allah swt. di surat Al Hijr ayat 99:
وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأۡتِيَكَ ٱلۡيَقِينُ
٩٩
Artinya:
“Berbaktilah kepada Tuhan yang menjadikan kamu,
sehingga datang kepadamu yakin (nyata dan terang)“.
(QS. Al Hijr [15]: 99)
Inilah manusia yang sempurna di dalam lubuk jiwanya yang telah memiliki
kekuatan natiqahnya, maka yang demikian inilah yang dibukakan Allah swt.
jiwanya, sehingga menjadi terang benderang (yakin) sebagaimana firman Allah
swt. di surat Qaf ayat 22 :
لَّقَدۡ كُنتَ فِي غَفۡلَةٖ مِّنۡ هَٰذَا فَكَشَفۡنَا عَنكَ
غِطَآءَكَ فَبَصَرُكَ ٱلۡيَوۡمَ حَدِيدٞ ٢٢
Artinya :
“Maka Kami bukakan tutup (tabir) daripada jiwa engkau, maka pandangan
jiwamu ini hari menjadi tajam.“
(QS. Qaf [50]: 22)
Maka dengan terbukanya jiwa daripada tabir-tabir yang menyelubunginya,
maka manusia ini yang sering dikatakan keramat (mulia). Maka tingkatan jiwa
yang demikian dapat mereka berhubungan dengan alam-alam ghaib yang lain.
Tegasnya manusia yang telah teguh jiwanya sehingga tidak gentar dan takut serta
tidak duka cita lagi menghadapi hidup ini. Jiwa yang demikian timbullah nur
(cahaya) yang memberikan baginya sinar-sinar yang memancar bagi alam
sekelilingnya. Jiwa inilah yang dinamakan muthmainah yang mendapat tempat yang
berbahagia sesuai dengan firman Allah
swt. surat Al Fajri ayat 27-30 :
يَٰٓأَيَّتُهَاٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَئِنَّةُ ٢٧ ٱرۡجِعِيٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةٗ
مَّرۡضِيَّةٗ ٢٨ فَٱدۡخُلِي فِي عِبَٰدِي ٢٩
وَٱدۡخُلِي جَنَّتِي ٣٠
Artinya :
Wahai jiwa yang tetap yakin (tenang). Kembalilah kepada Tuhan-mu dengan
keadaan ridha dan diridhai. Yaitu masuklah didalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan
masuklah kedalam kebahagiaan (surga)“.
